Siti (2014)

Buku Harian Siti (Tulisan tentang review film Siti 2014)

Ini kisah Siti (Sekar Sari), seorang pemandu lagu di kampung pesisir Parangtritis yang bekerja di tempat karaoke bedek milik Sarko (Agus Lemu Radia). Siti adalah ibu dari seorang bocah laki-laki bernama Bagas (Bintang Timur Widodo) dan istri dari Bagus (Ibnu Widodo) yang tadinya berprofesi sebagai nelayan. Adegan pembuka dari film ini adalah penggrebekan karaoke tempat Siti bekerja karena tempat itu tidak memiliki ijin usaha. 

Film ini berfokus tentang keseharian perempuan yang berprofesi sebagai pemandu lagu di pesisir pantai Parangtritis. Sutradara (Eddie Cahyono) secara jeli menampilkan hal umum pesisir pantai Yogyakarta seperti penjaja peyek jingking (camilan rempeyek bercampur kepiting kecil), nelayan miskin yang kerap terlilit hutang atau kehidupan malam khas masyarakat kelas bawah. 

Rutinitas pagi Siti dimulai dengan menggoreng peyek jingking, menyiapkan anaknya Bagas untuk sekolah lalu merawat total suaminya yang tergolek diranjang dikarenakan kecelakaan di laut. Penggambaran tentang seorang ibu rumah tangga dengan kesibukan yang tiada henti dan keharusan untuk menjadi tulang punggung keluarga tergambar jelas hampir dalam tiap adegan. Bagus sang suami dikisahkan memiliki kapal dengan cara berhutang pada Pak Karyo (Chatur Stanis) senilai 5 juta. Suatu hari Pak Karyo mengancam Siti untuk melunasi hutang dalam tempo 3 hari, dikisahkan Siti masih berhutang 1 juta lagi. 

Pusing dengan ancaman dari Pak Karyo, sembari mengganti pakaian Bagus, Siti bercerita apa saja yang dialaminya hari itu. Mulai dari susahnya memandikan Bagas yang berlari-lari, Bagas yang bercerita di sekolahannya ada hantu hingga Pak Karyo yang menagih hutang. Setiap kali Siti berkeluh kesah pada Sang Suami, namun Bagus hanya diam saja tidak menjawab. 

Sembari berjualan peyek jingking, Siti bertemu dengan Sri (Delia Nuswantoro) teman kerjanya di karaoke. Dalam dialog mereka tersirat bagaimana kaum istri ini tidak mampu melawan kondisi yang mengungkung, bahkan Sri menyuruh Siti untuk melampiaskan kemarahan dengan cara yang sangat normatif. Bersandiwara antara Siti dan Sri yang berperan sebagai Bagus dan mempersilahkan Siti untuk memakinya, atau memaki-maki lautan dengan debur ombaknya. Ironisnya Sri yang terkesan mampu mengajari Siti juga mengalami represi dalam rumah tangga, dia hanya bisa melampiaskan kekesalan atas suami saat rumahnya kosong dengan cara memukuli bantal. 

Malam itu Siti kembali bekerja di Karaoke Pak Sarko dan bertemu dengan langganannya, Mas Gatot. Gatot adalah seorang polisi yang naksir Siti dan terus menerus mengajak Siti untuk menikah. Siti yang sedang dirundung masalah membayar hutang, meminjam uang pada Gatot untuk melunasi hutangnya. 

Cara penyampaian yang terkesan apa adanya dan tidak didramatisir tampak dalam suasana tempat karaoke. Lihat saja minuman yang tersaji, bir atau minuman alkohol lainnya yang dioplos adalah merek yang tidak akan ditemui di bar atau night club perkotaan. Lagu yang dibawakan para pemandu lagu dan interior ruang karaoke juga tampak natural khas dengan cita rasa perkampungan pinggir pantai. 

Tokoh Sri dan Wati hadir sebagai teman yang berusaha membantu dengan sebisanya kepada Siti. Ketika Wati dan Sri memapah Siti pulang dalam kondisi sama-sama mabuk. Siti berbicara ngelantur dan berbangga tentang keberhasilannya memperoleh uang untuk melunasi hutang, namun disaat bersamaan Siti menangis tersedu-sedu karena mungkin menahan sakit perutnya atau tekanan batin yang membuncah karena kondisi yang seolah menghimpit dan tidak menyisakan ruang. 

Pulang dari tempat karaoke dengan keadaan mabuk dan sakit perut, Siti berbaring disebelah suaminya, Bagus. Sembari berbaring Siti bercerita dengan manja tentang bagaimana dia telah berhasil mengumpulkan uang untuk membayar hutang kapal. Siti juga mengungkapkan betapa dia rindu akan mendengar suara suaminya. 

Siti bercerita tentang keinginannya untuk bercerai, karena berkenalan dengan Gatot sang Polisi. Siti bercerita bahwa Gatot mengajaknya untuk menikah. Saat itu kata pertama dari Bagus yang keluar adalah “ lungo” (pergi). Kecewa dan marah dengan jawaban suaminya, Siti sembari memegangi perutnya mengajak Bagas untuk pergi, namun ditolak karena Bagas tidak mau besok terlambat datang ke sekolah. Siti menitipkan uang kepada ibu mertuanya, lalu pergi ke pantai sembari berjalan gontai dan meringis menahan sakit perut. 

Adegan yang perlu digaris bawahi dalam film ini adalah ketika karaoke tempat Siti bekerja digeruduk polisi, saat itu Siti ngeloyor ke WC untuk kencing. Adegan yang sama terjadi ketika Gatot mengejar Siti setelah mereka berdua berciuman di ruang karaoke. Dua adegan ini seolah bercerita Siti hanya memiliki waktu “bernafas” sepanjang waktu orang untuk buang air kecil. 

Menganalogikan kisah Siti dengan kajian Barthes (1957) tentang tarian telanjang di Prancis agaknya memiliki kesamaan bentuk perkara sosial. Para penari telanjang yang terkesan mengeksplorasi habis-habisan ketelanjangan wanita justru membuktikan kekuatan wanita bukan sebagai objek melainkan juga subjek. Penari telanjang adalah mitos yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dasar penonton dengan cara mengarahkan hasrat penonton. Dalam poin ini sukar untuk menentukan siapa yang benar-benar mempunyai kontrol penuh. Sama halnya dengan Siti yang tertekan, tanpa Siti apa yang terjadi pada keluarga yang ditinggalkannya? 

Siti dengan segala beban berat dibahunya, sisi lain mampu menaklukan polisi yang merepresentasi kuasa. Gatot sebagai polisi menjadi perwakilan figur lelaki penguasa yang juga memiliki sisi rapuh. Gatot yang ikut menggrebek karaoke tempat Siti bekerja, karena cinta mati, rela untuk memberikan uang 750 ribu secara cuma-cuma kepada Siti. 

Lévi-Strauss berpendapat bahwa seorang individu secara otomatis terikat langsung pada masyarakat, lengkap dengan totalitas dan sentimen. Terkait dengan narasi film Siti, maka seorang Siti adalah potret lengkap kondisi sosial pesisir Pantai Parangtritis, bukan sekedar wanita yang termajinalkan.

Comments