Film Baku Hantam di Indonesia sebagai Indikasi Zaman

Kali ini Rama (Iko Uwais) dan Andi (Donny Alamsyah) harus berhadapan dengan Mad Dog, jagoan andalan Tama. Rama adalah anggota dari satuan khusus kepolisian yang dipimpin Jaka (Joe Taslim) yang melakukan penyerbuan ke sarang penjahat yang dipimpin oleh Tama. Adegan perkelahian berdarah-darah antara hidup dan mati dalam film The Raid (2011) tersaji dengan seru seolah tanpa kesempatan untuk bernafas.

Seperti halnya genre film horor, komedi dan roman picisan,  film action/laga adalah jenis film yang paling mudah untuk mendulang pemasukan rumah produksi. Tidak hanya terjadi Indonesia, namun pola semacam ini juga terjadi di seluruh dunia. Film laga juga sering dikategorikan sebagai film ringan, pop corn movie atau sebutan lainnya yang mengindikasi film jenis ini tidak akan pernah menang dalam Oscars apalagi Cannes Film Festival. Kita tidak perlu bersusah payah untuk mencerna film laga, narasi yang ditawarkan cenderung mudah dicerna. 

Berbicara tentang film laga, tidak bisa dipungkiri bahwa ada negara-negara yang dianggap sebagai kiblat film laga seperti Amerika, Tiongkok atau Jepang. Negara-negara ini sudah mampu memproduksi film laga yang multi genre atau memiliki kedalaman cerita yang diatas rata-rata film laga negara lain. Seperti contohnya Matrix dari Amerika, berbagai film laga kolosal produksi Tiongkok atau film-film samurai dari Jepang . Sedangkan di Indonesia, perlahan film laga kita mulai terkenal ke manca negara berkat bantuan sutradara asal Wales, Gareth Evans (Merantau, The Raid dan The Raid 2).

Perfilman laga Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang, mengingat film Lutung Kasarung (1926) juga bisa dikategorikan sebagai film laga. Perkembangan film laga di Indonesia selama lebih dari puluhan tahun, memiliki masa pasang surut. Sama halnya dengan film genre lain, film laga Indonesia juga bersinggungan dengan perkembangan tren masyarakat dan kondisi sosial. Film laga Indonesia memiliki ciri khasnya tersendiri dalam beberapa poin.

Pertama, reproduksi film laga bisa dianggap sebagai film dalam konteks hiburan semata. Keutamaan dari film laga adalah action yang tercipta dari penokohan protagonis yang harus berhadapan dengan tantangan yang biasanya berupa tokoh antagonis. Biasanya posisi kedua penokohan ini tampil biner dan saling berlawanan. Terkadang  ada film yang  tokohnya perpindahan posisi dari antagonis berpindah menjadi protagonis dan sebaliknya. Hal tersebut tidak menghilangkan posisi biner, karena yang terpenting adalah penokohan harus nampak jelas. 

Contohnya dalam film The Raid, Andi yang jahat dan tersesat sehingga terjerumus dalam jaringan kriminal, diakhir film berbalik arah dengan ikut membantu Rama mengalahkan algojo kejam Mad Dog. Film laga pada era pra reformasi juga mengalami kesamaan plot seperti dalam film Lebak Membara (1982). Herman (George Rudy) yang awalnya melawan Jepang hanya urusan membalas dendam atas kematian gurunya, akhirnya membantu perjuangan Indonesia dengan menyerbu markas Jepang. 

Walaupun semenjak awal tokoh utama dalam kisah ini tetap sama yaitu Herman, namun perubahan moral dari sosok yang penuh dendam kesumat berubah menjadi sosok bermoral patriotik tergambar jelas dalam alur cerita. Beberapa film laga era pra reformasi banyak memiliki narasi yang serupa, yaitu perubahan moral yang egosentris menjadi seorang warga negara yang cinta tanah air. Perubahan tokoh jenis ini juga kerap terjadi di film laga Indonesia semenjak dari era film laga yang disadur dari komik (Jaka Sembung, Si Buta dari Gua Hantu, Panji Tengkorak) atau sandiwara radio (Saur Sepuh) hingga sekarang. 

Cerita soal patriotisme pada film laga klasik yang ber-setting masa pra kemerdekaan biasanya berkutat persoalan melawan penjajah (Belanda atau Jepang). Film jenis ini banyak diproduksi pada masa pra reformasi. Berbeda dengan film laga era pasca reformasi seperti The Raid yang mempersoalkan masalah domestik yaitu kelompok kriminal melawan hukum Indonesia (polisi dan segala aparatusnya). Apakah maraknya film yang bertemakan tokoh jagoan bangsa pra-kemerdekaan merupakan imajinasi represif masyarakat yang berada dalam tekanan orde baru? 

Kedua, logika narasi, pembangunan karakter dan spesial effect. Film aksi Indonesia masih susah untuk membangun logika narasi yang rapih. Sebaiknya jangan mencoba berpikir terlalu logis apabila menonton film laga Indonesia.  The Night Comes for Us (2018) misalnya, sebaiknya tidak usah pusing memikirkan bagaimana orang kuat ditembaki berkali-kali dengan senapan otomatis tetapi masih sanggup berdiri, bahkan berkelahi dan membunuh lawan-lawannya tetapi roboh ketika ditusuk belati. Mungkin film The Night Comes for Us sebaiknya dinikmati tanpa usah memikirkan rasional. Cukup nikmati keseruan aksi laga yang mengedepankan kesadisan dan makian kasar untuk mendukung aksi. 

Pada era 80an film Menantang Badai (1985) juga mengalami cacat logika seperti percekcokan sepele apa pun harus berujung dengan pukul memukul. Tetapi diakhir cerita hilangnya emas satu peti yang menjadi narasi utama film ini dianggap angin lalu saja, tokoh protagonis dan antagonis akhirnya berjalan berangkulan sambil tertawa-tawa diiringi lagu riang. Sekian. 

Film laga di luar negeri banyak juga yang mempunyai problem tentang pembangunan jalan cerita yang baik. Namun mereka punya film-film laga yang cukup bagus membangun narasi cerita baik seperti bourney identity, John Wick 1 dan 2 atau film aksi Hong Kong yang beragam mulai dari Film-film Jackie Chan hingga film karya Zhang Yimo atau Ang Lee. Film-film aksi luar negeri yang memiliki logika awut-awutan bahkan sudah punya kategori sendiri dengan istilah B-action movie.  

Ketiga, pertumbuhan/perjalanan karakter dari tokoh utama. Secara umum, film laga menawarkan cerita bagaimana tokoh utama menghadapi masalahnya. Cerita yang ditawarkan adalah perjalanan tokoh utama hingga bertemu dengan “musuh” terakhir yang menjadi kunci dari biang perkara segala masalahnya. Film Menantang Badai, Gantar sebagai tokoh utama berpetualang mencari peti berisi emas dan harus menghadapi musuh-musuhnya yang juga mengincar peti emas. Menyelamatkan diri dalam film The Raid atau mengalahkan musuh bebuyutan seperti cerita Film The Night Comes for Us. 

Film laga Indonesia masih didominasi oleh plot cerita tentang tokoh utama yang mengalahkan musuh bebuyutan  yang sering ditampilkan sebagai sosok penjahat lalim. Bandingkan dengan cerita film laga Hero (Zhang Yimou) film yang berisi perenungan tentang apa makna sebenarnya “pahlawan” atau film Bourney Identity yang memiliki jalan cerita yang kompleks sehingga susah menemukan siapa sebenarnya lawan yang harus diatasi.


Peran Perempuan dan Objektifikasi
 
Perempuan dalam film laga Indonesia menjadi peranan penting yang bisa menjadi alat pembacaan zaman. Hal yang harus digaris bawahi adalah bagaimana tokoh utama biasanya merupakan sosok maskulin yang tegar menghadapi segala rintangan. Sedangkan perempuan sering diposisikan sebagai korban dan butuh pertolongan pria. 

Posisi ini tidak terkait gender tertentu, semisalnya saja dalam film 5 Cewek Jagoan (1980). Film ini menceritakan tentang 5 cewek yang bersatu untuk saling membantu menolong Insinyur  Hardi (Cok Simbara) yang disekap gembong penjahat. Sekilas akan tampak film ini menceritakan ketangguhan 5 wanita dengan keahlian masing-masing untuk melawan organisasi kriminal. 

Tetapi tunggu dulu, lihatlah adegan  tokoh central dalam film ini Yanti(Yatti Octavia) yang sedang galau karena jatuh cinta pada Ir. Hardi. Para teman-temannya, Eve (Eva Arnaz), Lulu (Dana Christina) dan Lydia (Lydia Kandau) bernyanyi sambil berjoget menghibur Yanti dengan mengenakan bikini. Jelas sekali adegan ini berfungsi untuk pemanis dalam film atau sekedar eye candy

Jaman film laga era pra reformasi yang tentunya masih terbelenggu dengan berbagai macam aturan rezim order baru, tidak bisa seenaknya mengeksplorasi cerita. Sehingga segala aspek yang bisa mendongkrak kisah laga akan diupayakan semaksimal mungkin. Penggemar film laga yang memposisikan perempuan sebagai instrumen, bukan saja disukai oleh pria yang mengimajinasikan diri sebagai lakon utama. Tetapi penonton wanita juga memposisikan diri sebagai tokoh perempuan yang dirasanya enak terlindungi tokoh utama yang macho. Pemikiran yang terkesan dangkal tersebut sebenarnya wajar karena tren saat itu memang menggambarkan sosok pria gagah harus didampingi wanita sebagai pembantu.

Kualitas film era pra reformasi memang sukar dibandingkan dengan era sekarang yang sudah memiliki teknologi lebih maju. Film laga yang berkembang era pasca Gareth Evans lebih bisa mengeksplorasi narasi yang berlainan, tidak melulu berkutat soal pria garang pembela kebenaran yang menyelesaikan masalah dengan baku hantam. Aspek kedalaman cerita dan menjaga suspense bisa tergali cukup baik, bahkan dalam The Raid 2, Gareth Evans mampu menuturkan cerita kompleks dalam kesatuan narasi yang lumayan bagus. Beberapa sutradara Indonesia ada yang mencoba formula yang mirip dengan karya Gareth Evans, namun kurang mampu menghadirkan sinergi yang selevel seperti film Headshot (2016) atau The Night Comes for Us.

Aspek alternatif agaknya menjadi solusi film pra reformasi untuk menutupi kekurangan, biasanya dengan selipan komedi dan kehadiran perempuan sebagai sosok pelengkap. Dalam film era 80an, bukan suatu hal yang tabu untuk menghadirkan tokoh bencong yang berfungsi sebagai lucu-lucuan dalam film 5 Cewek Jagoan. Pada  kasus lain, pria kerdil tampil sebagai bahan tertawaan  dalam film Badai Jalanan. Body shaming yang sangat tabu pada saat ini menjadi hal yang wajar saja pada masa pra reformasi, lengkap dengan panggilan “gendut” untuk perempuan bertubuh gemuk dan perannya sering menjadi bahan perundungan semua tokoh, baik protagonis atau antagonis (Badai Jalanan, 5 Cewek Jagoan).

Film Laga Orba dan Pasca Reformasi

Perlu diingat bahwa era pra reformasi film harus sesuai dengan batas norma pemerintah orde baru. Sehingga tidaklah mungkin untuk menampilkan tokoh polisi korup seperti dalam film The Raid dan The Raid 2. Polisi dan perangkat pemerintah selalu tampil sebagai tokoh baik, lengkap dengan segala nilai-nilai luhur. Tidak terlupa pesan-pesan ala orde baru juga terselip dalam dialog film Menantang Badai. Ungkapan semacam “Pariwisata sudah berkembang” atau “Pembangunan sudah maju pesat” diselipkan begitu saja untuk kepentingan pemerintah.  

Perubahan rezim pemerintahan rupanya mempengaruhi perfilman Indonesia, demokrasi berfungsi lebih baik dibanding para era pra reformasi. Secara perlahan, sineas bisa lebih leluasa untuk  berkreasi mengembangkan berbagai aspek yang belum terjamah para sineas sebelumnya. Para penggiat dunia film Indonesia memang selayaknya berterima kasih kepada Gareth Evans, sineas dari Wales ini. Gareth berhasil membawa film laga Indonesia ke kancah internasional, lengkap dengan identitas pencak silat dan senjata khasnya, Karambit.

Film waralaba John Wick nampaknya menjadi judul film action paling terkemuka sejak 5 tahun belakangan ini. Pada film John Wick 3, Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman berperan sebagai tokoh yang penting. Penokohan karakter mereka sangat lekat dengan penokohan Mad Dog di film The Raid. Mereka sekalipun bertujuan untuk membunuh John Wick, tetapi mereka berusaha membiarkan John Wick melawan dengan adil. Siapa diantara para penonton film The Raid yang tidak ingat akan adegan “biar greget” di film The Raid? 

Selain itu John Wick yang terkenal dengan sosok yang tidak basa-basi dalam membunuh lawan. Namun berbeda ketika melawan 2 jagoan asal Indonesia ini. Walaupun keduanya berhasil dikalahkan, John Wick tidak membunuh mereka. Hal menarik yang perlu digaris bawahi, 2 pesilat yang sudah mengglobal ini tetap dibiarkan berdialog dengan bahasa Indonesia. Mereka tidak dipaksakan menggunakan bahasa Inggris seperti kebiasaan film laga barat yang mengharuskan semua tokohnya “patuh” pada budaya Amerika. Ada harapan suatu saat perfilman Indonesia benar-benar mencuri perhatian dunia, seperti bagaimana para aktor laga didikan Gareth Evans telah dikenal dalam film-film Holywood. 


Eko Priyantoro

Comments